Search This Blog

Friday, May 15, 2020

Bully

Dulu pernah ada staff saya yang sambil nangis-nangis mengajukan pengunduran diri. Usut punya usut masalahnya adalah dia sering di bully oleh teman-teman kerjanya.

Saya sedih.

Sedih karena selama ini selalu yang dibahas adalah “JANGAN BULLY ORANG LAIN!” tapi jarang ada yang bilang “JANGAN LEMAH KALAU KAMU DI BULLY!”

Hal ini juga pernah saya bahas sama mas pacar :
Saya : “Babe, masa stafku ada yang resign karna di-bully!”
Dia : “Ya, mungkin sakit hati babe.. Mungkin hatinya soft…”
Saya protes.
Saya : “Ya kenapa soft???!!! Don’t take things personally dong!”
Dia : “Ya tiap orang kan beda-beda babe…”

Semua benar.

Yang bully jelas salah. Kalaupun kalian lebih hebat, ya ga perlu lah merendahkan yang lain. Karma itu ada dan siap-siaplah menerima karma atas perbuatanmu.

Yang di-bully, kalau sedih dan marah ya memang resiko di-bully seperti itu. You can not win everybody’s heart and IT’S OKAY. Nothing’s wrong with that. Kamu ga bisa buat semua orang di dunia ini suka sama kamu. Don’t take everything personally. Jangan dimasukkin ke hati. Anggap saja suara rumput yang bergoyang.

Dan betul kalau setiap orang itu berbeda-beda. Dari bentuk bully yang sama, reaksi orang bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ada yang sedih, ada juga yang balik mem-bully, ada juga yang cuek. Itu pilihan.

Pembahasan saya dan mas pacar berlanjut :
Dia : “Kalau misal bully-nya extrim kaya dipukulin gitu gimana babe?”
Saya : “Babe, itu udah jelas… PUKUL BALIK lah! Itu bukan bully namanya, itu kekerasan fisik. Tindak pidana jadinya…”

Semoga berfaedah. Wassalam.

3 Prinsip Saya Sebelum dan Setelah Pengambilan Keputusan

Tanpa perlu basa-basi, mari kita mulai dengan poin-poin :

1.       Sebelum Pengambilan Keputusan

·         Yakinlah bahwa keputusan ini punya niat baik
Berkacalah. Tanyakan pada diri sendiri : Apakah keputusan ini yang benar-benar saya mau? Apakah ini baik untuk saya? Apakah saya mau lakukan ini?

·         Support dari pihak lain
Bertanyalah. Pada orang lain, pada google, pada Tuhan. Tuangkan apa rencanamu. Manusia tidak hidup sendiri.

·         Find a way to make it
Berencanalah. Kalau keputusan itu baik untuk diri kita sendiri dan baik bagi orang lain, maka lakukanlah. Keputusan terburuk sekalipun, lakukanlah. Karna keyakinan setelah berkaca dan bertanya pastinya akan kuat. Dengan keyakinan ini seharusnya kita mampu bertanggung jawab untuk keputusan itu. Lakukan perencanaan terbaik, tidak perlu sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Yang Diatas. Cie.

2.       Setelah Pengambilan Keputusan

·         Bertanggung jawab atas keputusan itu
Menerima. Mengakui bahwa keputusan itu adalah keputusan yang kita ambil dan bertanggung jawab atas seluruh konsekuensinya. Kalau jadi baik, bersyukurlah. Kalau belum jadi baik, jadikanlah baik.

·         Mengembangkan keputusan itu
Berusaha. Keputusan baik, jika dikembangkan akan jadi lebih baik. Keputusan yang belum baik, kalau dikembangkan ada potensi untuk jadi baik.

·         Jika ada kesalahan, jangan pernah buat kesalahan yang sama
Belajar. Manusia diciptakan menurut rupa Allah. Karena itu, pastilah manusia lebih baik dari makhluk lainnya. Ada kata-kata “Not even a donkey falls in the same hole twice!” Maka belajarlah. People make mistakes. Sudah kodratnya. Tapi kalau mengulangi kesalahan yang sama? Itu bukan kodrat, itu namanya tidak belajar.

Wassalam. 

Sunday, May 03, 2020

Merantau ke Bali


“Wah kerja di Bali ya? Pasti enak deh!”
Kira-kira begitulah respon orang lain begitu tau saya kerja di Bali. Memang betul, enak. Tapi ya ada ga enaknya juga. Untuk kalian yang penasaran plus dan minus kerja di Bali, saya coba buat daftarnya menurut hemat saya ya.

PLUS (+) POINT :
  • Kultur dan karma yang kuat

Bali selalu membuat saya kagum akan budayanya. Selalu. Berbagai upacara adat dan ritual keagamaannya akan mewarnai hari-harimu. Saya selalu terharu akan betapa kekuatan karma sangat kental di Bali. Kalau kalian berniat baik, kalian akan terima karma yang baik dengan cepat saat kalian butuhkan. Butuh kos, ada yang bantu. Sekarang malah saya dapat tempat tinggal yang lebih dari cukup bersama teman saya. Butuh barang-barang untuk isi kos, ada yang bantu. Butuh motor, ada yang bantu, tambah sepeda gayung malah. Saya tidak pernah kesulitan kerja di Bali, saya pernah punya 2 pekerjaan tetap sekaligus, malah jadi bisa jalan-jalan keluar negri dari hasil tabungan saya. Jujur saya jarang ke gereja, tapi karena menerima begitu banyak karma baik, iman saya tidak pernah goyah sedikitpun.
  • Bali itu indah

Dari ujung satu sampai ke ujung yang lainnya, penuh tempat dan spot yang menyenangkan dan menyegarkan hati.
  • Kalau naik motor, ga macet

Belakangan ini mungkin Bali memang lebih macet di area tertentu, tapi tetap saja, kemacetan di Bali belum bisa dibandingkan dengan macetnya Jakarta. Setuju?
  • Kecil kemungkinan stress

Setelah saya sebutkan 3 poin diatas, mana mungkin kamu bisa stress? Kamu bahkan bisa makan siang masakan padang dipinggir pantai di jam kerja.
  • Orang-orang yang ramah

Kamu bisa tiba-tiba ngobrol dengan orang lain seperti kalian sudah kenal lama.

MINUS (-) POINT :
  • UMR lebih rendah

Kalau dibandingkan dengan Jakarta, jelas UMR di Bali belum ada apa-apanya. Saya banyak berkorban untuk ini di tahun-tahun awal hidup saya di Bali. Tapi tentu saja, ala bisa karna biasa. Segala sesuatunya menjadi lebih baik setelah saya mulai berdamai dengan kondisi ini. Inget kata-kata “uang bukan segalanya”? Itulah semboyan hidup saya saat ini. Cie.
  • Tidak ada transportasi umum

Punya kendaraan sendiri sangat penting untuk tinggal di Bali sebagai anak rantau. Saya ingat sekali tahun-tahun awal saya hidup di Bali, gaji saya habis untuk transport berangkat kerja karna kemana-mana naik taxi (karna taxi dan ojek beda tipis harganya). Sebagai pekerja operasional, saya harus banyak kunjungan ke beberapa tempat. Bayangkan saja semuanya itu harus pakai taxi. Sekarang, jauh lebih baik karna sudah ada ojek online, tapi dulu boro-boro angkot, becak aja ga ada deh. Ingat banget harus belajar motor malem-malem, waktu sepi. Ingat banget harus mulai kredit motor, yang akhirnya jadi motor kesayangan saya sampai hari ini.
  • Banyak godaan

Sebagai tempat tujuan wisata, disini ada banyak sekali hiburan, mulai dari yang biasa sampai yang luar biasa. Saya ingat betul bagaimana saya bisa party dan pulang jam 6 pagi, tapi jam 9 pagi saya sudah kembali bekerja lagi sampai jam 2 pagi keesokan harinya. Saya masih ingat juga saya harus cari 2 pekerjaan untuk membayar kebiasaan saya minum alkohol. Selalu ada saja yang ajak untuk party setiap malam. Gila pokoknya. Yah, wajarlah namanya juga tempat wisata kan? Tapi mungkin kalau saya tidak pernah mengalami ini semua, saya tidak akan pernah tau caranya bersyukur.
  • Jauh dari keluarga

Karna gaji sedikit kan? Mau pulang naik bus ke Jakarta tapi cuti jadinya kepotong banyak. Kalau pulang naik pesawat, bayarnya mahal. Apalagi waktu natal, harga tiket gila-gilaan. Ini yang paling sedih sih. Saya jadi seperti anak durhaka karna jarang pulang kampung. Bisa saja saya minta uang ke orangtua, tapi masa saya sudah jauh-jauh merantau ujung-ujungnya minta juga? Malu dong. Orang tua saya bukan orang tajir melintir, adik saya juga masih sekolah, masa saya minta uang? Jauh yang saya katakan disini bukan hanya karna lokasi, tapi juga jadi jauh di hati. Tapi itu kan dulu, ingat kan saya bilang kekuatan karma baik? Nah, itu yang saya terima sekarang. Hubungan saya dan keluarga berangsur membaik.

Sebenarnya masih lebih banyak lagi, tapi mungkin ini yang paling mencolok buat saya. Tapi menurut saya, tinggal dimanapun akan sama saja. Ada lebih ada kurangnya juga. Tapi apapun itu, kalau didasarkan pada niat yang baik, berkat melimpah pasti akan kamu terima jika waktunya sudah tiba. Terima kasih Bali. Terima kasih untuk tangan-tangan yang membawa saya sampai ke posisi saat ini. Saya tidak pernah menyesal untuk keputusan saya merantau ke Bali. Saya malah bersyukur untuk pengalaman yang luar biasa ini. Wassalam.

Friday, May 01, 2020

Pertanyaan Karyawan saya ditengah Pandemic Covid-19

Seluruh dunia saat ini merasakan pandemic Covid-19. Saya tidak mau membahas apa itu Covid-19 atau usaha pencegahannya. Dengan mudah orang bisa cari di google.

Saya hanya mau share sedikit tentang karyawan perusahaan tempat saya bekerja. Sebelum kami putuskan untuk istirahat dirumah beberapa bulan lalu, saya adakan pertemuan dengan para staff. Dari pertemuan itu, saya terima banyak sekali pertanyaan. Saya tampilkan sebagian ya.
Salah seorang staf bertanya kepada saya, “Bu, apakah kita akan tetap digaji?”
Ada juga yang tanya, “Bagaimana kalau wabah ini terus berlanjut?”
Bahkan ada yang tanya, “Kalau misalnya kita selama tinggal dirumah mau cari tambahan dari gojek, bagaimana Bu?”

Prinsip hidup saya dalam bersosialisasi salah satunya adalah perlakukan orang lain seperti kamu mau memperlakukan diri kamu sendiri. Kalau mau buat kebijakan A, ngaca dulu kalau kebijakan itu untuk saya apakah saya mau lakukan atau tidak? Kalau mau, berlakukanlah kebijakan A. Kalau tidak mau, jangan berlakukan kebijakan A.

Prinsip ini juga saya terapkan waktu saya menjawab pertanyaan para staff. Panjang lebar saya jawab, “Perusahaan itu bukan Yayasan, perusahaan itu tujuannya cari profit. Cari untung. Cari cuan. Perusahaan ini ada karena shareholder. Karna investor yang sebelum saya dan kalian lahir, mereka sudah tanam uang mereka disini. Shareholdermu dan saya bukan Tuhan, bukan Dewa, bukan paranormal, bukan santo/santa, bukan nabi, dan bukan martir. Jadi, perusahaan tidak bisa meramalkan wabah ini sampai kapan dan sampai kapan kalian akan digaji. Tentu akan ada pemberitahuan lebih lanjut dan sifatnya tidak mendadak. Tapi kita semua harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Kalau kalian mau cari tambahan, silahkan. Saya tidak bisa larang kan? Toh kalau sudah dirumah, kalian mau makan, tidur, atau nungging, saya juga ga tau kan? Tapi kalian harus ingat, ada keluarga dirumah yang harus kalian jaga. Mungkin kalian kuat, tapi mungkin ada keluarga kalian yang tidak. Mereka yang lebih berisiko, terutama yang lebih tua yang harus kalian jaga.”

Semoga kita semua selalu sehat dan bahagia. Wassalam.

You don’t need a reason to be nice

Saya pernah berdebat dengan pacar saya tentang hukuman apa yang pantas untuk para teroris.
Saya bilang, hukuman yang paling sadis. Sodomi setiap hari sampai mereka akhirnya bunuh diri di tahanan. Pacar saya kaget setengah mati, dia pikir saya psikopat.
Dia lalu bilang, “Babe, think about it. If you create a war on top of the other war, everything is only going to be escalated. It won’t stop the problem.”

Waktu itu saya bersyukur punya pacar baik, tapi jelas saya tidak setuju. Setiap kali topik ini kembali dibahas, saya tetap teguh dengan konsep sodomi yang saya katakan sebelumnya.
Saya selalu bertanya, “Kenapa? Mereka kan orang jahat. Orang jahat harus disiksa. Kenapa harus baik ke mereka?”

Saya sering menonton crime series, murder case, detective movies. Kadang saya berpikir, hukuman seumur hidup penjara atau hukuman mati kadang belum cukup untuk kasus pembunuhan.
Bayangkan perasaan keluarga korban. Bayangkan kalau orang yang kita sayang tiba-tiba disiksa dan dibunuh. Kenapa tidak ada hukuman ekstrim di dunia ini, yang sesadis-sadisnya supaya tidak ada orang yang membunuh lagi?

Lalu saya tersadar. Bahwa semua orang terlahir sebagai orang yang baik. Keadaan yang membuat orang berlaku tidak baik.
Di semua crime series yang saya tonton, detektif selalu mencari motif tindak kejahatan.

Jadi kesimpulan saya, you probably need a reason to be a bad person, but you don’t need a reason to be nice. We just born this way.

Wassalam.

Hiring people with character


Saya pernah ditanya atasan saya, “What are you looking for when you’re hiring someone?”
Pertanyaan ini simple, tapi besar pengaruhnya.

Human Resource sebenarnya bukan ranah saya. Kebanyakan pengalaman saya adalah di bidang Sales dan Operasional. Tapi menurut saya, semua bidang sama saja. Ala bisa karena biasa. Di perusahaan tempat saya bekerja, tim kami hanya 9 orang, termasuk atasan saya, jadi saling bantu pekerjaan sudah menjadi makanan sehari-hari.

Menjawab pertanyaan diatas, saya percaya karakter adalah jawabannya. Seseorang yang berkarakter adalah yang selalu saya inginkan untuk menjadi rekan kerja saya. Saya percaya bahwa skill dan knowledge itu bisa saja dipelajari dengan mudah kalau orang tersebut memiliki karakter yang kuat.

Selama saya bekerja di bidang Sales dan Operasional, saya banyak bertemu orang dengan beragam karakter. Manusia memang unik. Cara berpikir antar 1 orang dengan orang lainnya bisa jadi berbeda. Perbedaan ini sah-sah saja.

Pertanyaan selanjutnya adalah karakter seperti apakah yang banyak dicari oleh perusahaan? Jawabannya menurut saya adalah tergantung value perusahaan. Disinilah diperlukan kejujuran dan kebesaran hati dari kedua belah pihak, perusahaan dan pencari kerja. Perusahaan harus jujur terhadap value mereka karena dari sanalah mereka bisa menentukan karakter yang cocok agar mereka tetap konsisten pada value mereka. Di lain pihak, pencari kerjapun perlu jujur dan berbesar hati mengungkapkan value mereka terhadap perusahaan pada saat proses rekrutmen.

Kebanyakan dari pencari kerja kecewa, jika mereka tidak lolos dari proses rekrutmen. Ini yang tidak boleh. Perlu diingat, proses rekrutmen ini proses pengenalan 2 arah. Proses perusahaan mengenal pencari kerja, dan juga proses pencari kerja mengenal perusahaan. Kira-kira mirip lah dengan pada saat kita mencari pasangan hidup. Pekerjaan pun jodoh.
Jadi kalau tidak cocok, untuk apa dipaksakan?

Pada setiap proses interview saya, saya selalu katakan pada para pencari kerja, “Kamu harus sadar, pada saat kamu hadir didepan saya, itu berarti kamu siap untuk 2 hal : untuk diterima dan tidak diterima. Kalau kamu diterima, itu artinya kamu harus berusaha untuk menjadi karyawan yang baik. Tapi kalau kamu tidak diterima, itu artinya kamu harus berusaha memantapkan diri kamu lagi.”

Diterima artinya si pencari kerja harus berusaha memenuhi tuntutan value perusahaan. Tidak diterima berarti belum jodoh.
Karena belum jodoh, carilah jodohmu.
Carilah perusahaan dengan value yang cocok dengan karaktermu.

Wassalam.

Sumber Daya Manusia dan Kaitannya dengan Teknologi

Beberapa bulan lalu, assistant saya yang kebetulan sedang dalam proses persiapan skripsi bertanya, “Ce, judul apa ya yang bagus untuk skripsi?”

Saya berpikir sejenak, lalu menjawab “Sumber Daya Manusia dan kaitannya dengan Teknologi.”

Dia tanya, “Kenapa penting Ce?”

Saya jawab, “Karena kalau tidak diperhatikan dari sekarang, saya, kamu, dosen kamu, kita semua mungkin ga bisa punya pekerjaan lagi 5 tahun kedepan, diganti robot.”

Kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi 10 atau 20 tahun kedepan. Keadaan memaksa perkembangan teknologi, sehingga manusia yang tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan ini akan tersingkir. Pembentukan dan pengembangan karakter adalah program yang seharusnya dibina dari awal.

Bayangkan kalau kita tidak lagi butuh frontliners karena Shopee, bayangkan kalau kita tidak lagi butuh dosen karena modul pelatihan online, bayangkan kalau kita tidak lagi butuh 10 orang untuk menyelesaikan pekerjaan A. Seperti apa persaingan tenaga kerja?
Kalau tidak special, kalau tidak punya karakter, bagaimana bisa bersaing?

Mari renungkan. Wassalam.